3. John Dewey
Pemikiran Filsafat John Dewey
John Dewey dan Pendidikan
Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori.
Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konsekuensi sebagai kriteria dalam keputusan. Inti kebebasan pada Dewey adalah kebebasan inteligensi, dimana kebebasan observasi dan justifikasi dilakukan atas dasar keinginan yang memiliki arti secara intrinsik, yaitu bagian yang dimainkan oleh pikiran dalam belajar. Konsepsi pendidikan sebagai suatu proses sosial diterapkan tidak hanya ke anak di sekolah melainkan juga sekolah dan masyarakat.
Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Dewey
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi kongkrit dan diuji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, di mana pendidikan didefinisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya. Dalam Pedagogic Creed, Dewey (1897) mendefinisikan itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey (1961) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalamaan.
Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain. Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong inteligensi untuk memformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak. Pada prinsipnya, pengembangan pengalaman datang melalui interaksi berbagai aktivitas (means) di mana pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Makna sosial dalam pendidikan merupakan penekanan khusus dalam pemikiran pendidikan Dewey dan menentukan pandangan keduanya, anak di sekolah dan sekolah di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap sistem persekolahan tradisional, yang dapat dijelaskan di sini bahwa dalam sekolah tradisional, pusat perhatian berada diluar anak, apakah itu guru, buku, teks dan sebagainya. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan di mana dalam kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan lingkungan. Hasilnya pokok-persoalan terisolasi dari anak dan hubungan menjadi formal, simbolik, statis, mati; sekolah menjadi tempat untuk mendengarkan, untuk instruksi massal, dan selanjutnya terpisah dari hidup.
Menurut Dewey dalam Experience and Education, pendidikan merupakan persiapan. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu rekonstruksi pengalaman, langkah ke depan, untuk persiapan berikutnya. Pencapaian goals masa depan di sini yang belum diketahui sebelumnya; melainkan didekati secara eksperimental dan dibentuk oleh konsekuensi-konsekuensi. Dalam konteks ini, Dewey mengkritisi segala upaya yang mencoba mendidik anak dengan pencapaian yang sudah pasti, yang memaksa mereka menimbang pola-pola prestasi sebagai antisipasi ke depan. Anak-anak tersebut dididik untuk menjadi warganegara (citizenship), untuk kejuruan (vocational), untuk pariwisata (leisure); mereka diajar membaca, berhitung, geografi, karena akan berguna untuk mereka dalam hidupnya. Namun, pemikiran ini hanya bisa diberlakukan dengan asumsi bahwa keterampilan yang dipelajari saat ini dapat secara efektif digunakan untuk kepentingan masa depan yang kemungkinan sekali berubah. Dalam hal ini, penggunaan keterampilan saat ini sebagai persiapan masa depan merupakan kontradiksi dengan pemikirannya bahwa pendidikan merupakan suatu proses kehidupan dan bukan suatu persiapan untuk kehidupan mendatang.
Dalam Experience and Education, Dewey ( 1938) mengkritisi bukan hanya sistem persekolahan tradisional melainkan juga bentuk-bentuk ekstrim dari pendidikan modern (progressive). Menurut dia tidaklah cukup untuk bereaksi secara negatif menentang masa lalu. Sekolah-sekolah maju telah menolak konsep subject-matter sebagai suatu produk akhir yang secara logika dihadirkan dalam berbagai buku. Mereka telah menolak kondisi kewenangan eksternal yang memuat kebebasan, ekspresi dan keindividuan. Mereka juga telah mengangkat pengalaman masa kini di atas masa lalu. Tetapi mereka tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap kerja positif dari berpikir konsekuensi-konsekuensi praktis posisi mereka sendiri. Tempat subject-matter dalam persekolahan, faktor-faktor pengontrol didalam pengalaman dan yang pasti menempati kewenangan eksternal, adalah fungsi kematangan dalam memandu yang belum matang (immature). Mereka juga tidak secara cukup menyadari bahaya yang melekat pada posisi mereka sendiri. Kebebasan, sebagai contoh, disalahtafsirkan sebagai laissez-faire, terlalu banyak penekanan pada keperluan anak saat ini dan menurutkan kata hati (impulses). Hal ini dapat mengarah pada pengabaian fakta dasar dari pertumbuhan, dan teori-teori baru yang cenderung terperosok ke dalam dogmatisme-dogmatisme ketat seketat yang lama, yang ingin digantinya.
Sumbangan Pemikiran John Dewey Terhadap Pendidikan
Apresiasi dan sumbangan pemikiran pendidikan John Dewey tidak dapat dipungkiri telah berdampak luas, tidak hanya di Amerika tetapi dunia. Di Amerika, disebutkan bahwa dialah orang yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan pendidikan Amerika selama tiga dekade yang lalu. Pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan akhir-akhir ini pada sekolah menengah dan tinggi, pengaruh Dewey telah memberikan rujukan terhadap praktek persekolahan, dari yang bersifat formal dan pengajaran yang penuh dengan gaya memerintah, ke arah konsep pembelajaran yang lebih manusiawi. Dalam hal ini pemikiran Dewey memberi rujukan tentang pusat dalam pembelajaran anak dan berproses dalam pengalamannya. Garis besar pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digarisbawahi di sini. Menurut Garforth (1966) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini.
Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya, hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat bahwa dalam pendidikan harus terefleksikan dalam manajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Pendapat ini mengalami pengabaian dalam masa yang lama, meskipun akhirnya secara berangsur dapat diterima. Akhirnya, proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerjasama dan timbal balik menggeser suasana kompetisi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan. Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran.
Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Namun, selama berabad-abad tenggelam dalam keformalitasan asumsi-asumsi psikologi klasik pada konsep klasik. Jika Rousseau, Pestalozzi, dan Froebel telah melakukan banyak untuk membebaskan anak dari duri miskonsepsi kewenangan, maka Dewey juga telah memberikan sumbangan yang sama terhadap dunia modern. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula, pada sebuah penelitiannya tentang anak, menjadi lebih menyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentimental.
Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian Dewey lah yang telah membawa orang menjadi tertarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakkannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan (discovery) .
4. Teori Rousseau
seorang filsuf Prancis, mengeluarkan statemen dalam bukunya Contract Social yang terkenal dengan ilmu kenegaraannya. “Manusia terlahir bebas, tetapi ada belenggu-belenggu yang mengikat manusia tersebut”. Hal ini dimaksudkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak pernah mutlak. Selalu akan terbentur dengan kebebasan individu lain. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kesepakatan agar tiap benturan kebebasan itu tidak menimbulkan konflik bahkan penghilangan kebebasan manusia lain. Kontrak itulah yang kemudian menjunjung tinggi adanya kedaulatan rakyat, pengutamaan suara mayoritas. Terkesan bahwa rakyat akan memiliki jaminan atas kebebasan mereka, tetapi kelemahan dari teori Rousseau ini adalah, yang ia tekankan adalah mayoritas, maka dimanakah suara bagi minoritas?
Kekejaman Rousseau sebagai pemikir kemudian menguat pada novelnya yakni Emile yang semakin memperkuat kata manusia hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tidak diakuinya sebagai manusia yang utuh. Perempuan adalah submanusia. Rousseau ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak mungkin berada dalam lingkup akademis yang logis dan kritis. Sebaliknya, untuk dapat mengikuti kehidupan laki-laki, perempuan haruslah mendapatkan pendidikan yang membekali mereka sebagai calon istri yang baik. Alasan di balik pembedaan pendidikan ini adalah, perempuan memiliki sifat emosional yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Pendidikan tersebut misalnya mengenai musik, sastra, dan keterampilan rumah. Dengan belajar hal-hal yang semacam itu, perempuan diharapkan mampu mengimbangi pola hidup laki-laki yang penuh dengan pemikiran. Pendidikan untuk laki-laki sendiri mencakupi bidang politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan pendidikan formal lainnya. Jelas novel ini sangat misoginis karena menunjukkan bahwa perempuan takkan mampu mengikuti pola pendidikan laki-laki. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia, ia dianggap sebagai submanusia. Akibat dari novel ini adalah, dalam masyarakat, semakin diyakini bahwa memang pendidikan untuk perempuan harus dibedakan dari pendidikan laki-laki. Perempuan hanya pantas dididik sebagai calon ibu rumah tangga yang baik, untuk mengimbangi suaminya nanti.
Muncullah kritik dari seorang feminis bernama Mary Wollstonescraft dalam bukunya Vindication of The Rights of Women (1789). Jika dikatakan bahwa perempuan harus dapat mengimbangi laki-laki dalam kehidupan, perempuan pun haruslah mengerti bidang-bidang yang dipelajari juga oleh laki-laki. Bagaimana mungkin perempuan dikatakan mengimbangi kalau ia tidak mengerti sama sekali pembicaraan yang dilakukan oleh laki-laki. Justru perempuan akan semakin mengalami penekanan karena ketidakpahamannya itu. Kondisi yang akan terjadi adalah, ketika suami pulang dari bekerja, lalu ia mengeluh mengenai keadaan di tempatnya bekerja termasuk mengenai isu yang sedang terjadi di masyarakat, si istri hanya dapat menjadi pendengar. Istri tidak akan berani memberikan pendapatnya karena tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Walaupun ia berpendapat, suami tidak akan menanggapi karena menganggap bahwa istrinya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Istri pun mengalami subordinasi. Oleh karena itu, Wollstonescraft mengkritik pembedaan pendidikan oleh Rousseau dan mengatakan bahwa, sebagai manusia, perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki agar dapat berpartisipasi dalam ruang publik.
Lebih lanjut lagi, dalam bukunya ini, Wollstonecraft mengajak perempuan-perempuan yang telah terbiasa hidup dalam sangkar emas untuk keluar dan mulai berdaya. Sangkar emas ini merupakan simbol dari keterlenaan perempuan yang mau diberi segala kemudahan dalam kehidupan, tetapi implikasi dari kemudahan itu adalah pengambil-alihan statusnya sebagai manusia bebas. Perempuan tidak mendapatkan haknya sebagai manusia, antara lain hak milik, hak pilih bahkan terkesan, hak hidupnya pun sudah dibatasi. Perempuan menjadi tergantung pada laki-laki (pada ayah ataupun pada suami). Jangan-jangan untuk bernafas pun perempuan harus menunggu aba-aba dari laki-laki. Masalah semacam ini semakin mengakar kuat dan memperburuk keadaan perempuan, karena sangkar emas membuat perempuan tidak ingin keluar dari kesemuan itu. Pola ini kemudian akan diturunkan ke anak-anak perempuannya sehingga muncul impian ingin mencari sangkar emas-sangkar emas baru, karena hanya pola hidup semacam inilah yang dimengerti oleh perempuan.
Perempuan yang hidup terlena dalam sangkar emasnya tidak menyadari bahwa problem-problem kehidupannya justru semakin terkubur oleh problem keluarganya. Identitasnya terkubur oleh identitas yang lebih kuat, dalam hal ini adalah identitas laki-laki yang menguasai kehidupannya. Akhirnya masalah yang dialami perempuan menjadi lebih kompleks, karena permasalahan yang dialaminya tidak dikenali oleh lingkungan sekitarnya. Perempuan akan dianggap hanya mengalami depresi atau stres pada umumnya. Permasalahan ini oleh Betty Friedan disebut sebagai The problem that has no name. Dan masalah inilah yang dialami oleh kebanyakan perempuan terutama dalam rumah tangganya sebagai akibat dari hak mereka sebagai manusia dibatasi. Bahkan mengeluh pun mereka harus menyadari posisi mereka.
Jika perempuan dibiarkan diam terus-menerus, akan semakin memperkeruh air masalah yang dialaminya. Tetapi untuk bisa menjernihkan kehidupan perempuan, dibutuhkan pengakuan akan hak-hak hidup perempuan. Perjuangan para feminis liberal inilah yang ingin mengeluarkan perempuan dari sangkar emas yang mengukung mereka. Hasilnya adalah, pengakuan akan hak milik, hak pilih bagi perempuan. Ini bukan perjuangan yang mudah, mengingat keterlenaan perempuan telah mengakar sejak lama. Tetapi bukan berarti sebuah teori tidak memiliki kelemahan. Ketika kita hanya fokus pada hak individu, yang bersifat eksternal, maka kita akan terbutakan oleh hal-hal yang lebih inti dari penderitaan perempuan. Seperti kenapa perempuan tidak dapat mengikuti alur pemikiran laki-laki, karena ada perbedaan pengertian bahasa. Atau seperti tradisi yang tidak dapat dibongkar, padahal tradisi tersebut secara jelas telah membiarkan laki-laki tetap mengopresi perempuan. Lalu, apakah hanya sekedar hak pilih maupun kemandirian ekonomi yang harus dicapai perempuan? Bukankah sudah saatnya memutus rantai kekerasan tersebut dalam segala hal, termasuk dalam memutuskan tradisi kekerasan tersebut?
Hirarki Kebutuhan Maslow
Ada sebuah loncatan pada piramida kebutuhan Maslow yang paling tinggi, yaitu kebutuhan mencapai aktualisasi diri. Kebutuhan itu sama sekali berbeda dengan keempat kebutuhan lainnya, yang secara logika mudah dimengerti. Tapi mengapa setelah seseorang mencari pengakuan, mencari penghormatan lalu mencari jati diri? Mengapa? Dan bagaimana prosesnya? Seakan-akan ada missing link antara piramida ke-4 dengan puncak piramida. Seolah-olah terjadi lompatan logika. Pada saat Bill Gates mengundurkan diri dari Microsoft Corp semua orang bingung, mengapa orang paling kaya sedunia, paling berkuasa dengan uangnya, paling berpengaruh, paling dihormati karena prestasi dan kekuatannya, tiba-tiba mengundurkan diri pada usia muda. Dia lalu mengurusi yayasan sosial korban HIV/AIDS. Ini comtoh nyata suatu lompatan logika. Dia rela melepaskan kekuasaan dan kekayaan, untuk kegiatan sosial. Kok bisa? Apa isi dunia kehidupan setelah uang dan materi? Bagaimana proses Bill Gates mencapai aktualisasi diri dengan tidak lagi peduli dengan uang dan kekuasaannya? Berarti ada kebutuhan lain di luar kebutuhan hidup untuk memiliki makanan, rasa aman, cinta dan pengakuan. Ada piramida kebutuhan selain kebutuhan duniawi, yaitu kebutuhan jiwa. 1. Kebutuhan hidup ala Abraham Maslow tidak bisa menjelaskan mengapa banyak orang miskin yang bahagia. Mereka tidak terpengaruh oleh perbedaan jenis makanan, minuman atau rumah yang ditempati. Orang miskin bahagia seperti menunjukkan bahwa kebutuhan dasar hidup bukan seperti piramida Maslow. 2. Banyak orang yang sangat membutuhkan rasa cinta, semuanya sangat menyukai membahas masalah cinta, mengekspresikan cinta, tapi makin dalam cinta terasa semakin membuat sakit. Aneh, manusia butuh rasa cinta tapi semakin mendalam rasa cinta kok malah menyakitkan akibatnya, seolah-olah bukan itu yang sejati. Bukan itu yang sesungguhnya dibutuhkan. Lalu cinta yang bagaimana? 3. Seharusnya, hakekat hidup manusia adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Maka ketika seseorang sudah memenuhi kebutuhannya, seharusnya dianggap lebih tinggi atau dihormati. Kenyataannya orang kaya, orang yang mengagung-agungkan cinta malah dibenci. Banyak orang kaya yang dibenci kan? Orang-orang yang mengagungkan cinta seperti Julius Caesar malah dibunuh dan tidak dihormati. Lalu kalau demikian, buat apa manusia memenuhi kebutuhannya? Untuk apa? Seolah ada paradoks dalam hal ini. 4. Banyak sekali kejadian-kejadian yang ekstrim terjadi pada usia Midlife crisis (krisis di pertengahan usia hidup) biasanya pada umur 40 tahun. Kebanyakan mereka cenderung mengalami jebakan, seperti misalnya: kawin lagi, atau merasa hidupnya kesepian, terasa hampa. Seolah mengejar kebutuhan materi, menjadi kaya, butuh rasa dicintai menjadi momok di dalam perjalanan hidup kita. Akhirnya menjadi sia-sia. Sungguh aneh, mengapa orang yang berjuang seumur hidupnya, memiliki kekuasaan, memiliki segalanya, bisa terjebak Midlife crisis. Seolah-olah ada yang salah dengan hal-hal yang dikejar selama ini, karena berujung pada hal yang sia-sia. 5. Kitab suci mengatakan, "Manusia tidak hanya makan dari roti". Nah, kalau manusia tidak hanya membutuhkan roti untuk makanan dalam hidup, lalu apa kebutuhan manusia yang sesungguhnya?
People conform to the Laws of the Earth. The Earth conforms to the Law of Heaven. Heaven conforms to the Way (Tao) The Tao conforms to its own nature. - Lao Tzu –
Kebutuhan Jiwa
Apakah kebutuhan jiwa itu? Mengapa kita perlu mengerti kebutuhan jiwa ? Untuk apa? Dan apa peranannya dalam mengembangkan diri kita seutuhnya ehingga bisa tahu kemana jalan hidup menuju, sehingga tidak tersesat ? Tubuh kita memerlukan fisik dan nutrisi untuk tumbuh, demikian juga jiwa. Jiwa membutuhkan nutrisi yang berbeda. Bila percaya bahwa kehidupan dalah perjalanan jiwa, maka semua pengalaman hidup sehari-hari adalah human experience yang berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa sehingga menjadi lebih besar. Kita semua diberi suatu talenta atau berkah dari Sang Pencipta. Yang menjadi tantangan adalah menemukan talenta tersebut dan memberikannya kepada orang lain agar jiwa kita semakin tumbuh berkembang. Tapi meski kita memberikan "nutrisi kepada jiwa kita" dengan memberikan hal yang kita miliki kepada orang lain, kita tidak akan dapat memberikan cinta kasih jika kita tidak menerima cinta kasih; terutama dengan perasaan dan empati, dalam memberikan sesuatu kepada orang lain dan sebaliknya. Setiap manusia harus belajar keras untuk menyeimbangkan diri, dalam berhubungan dengan sekeliling, dan juga pemenuhan diri sendiri (Ego). Jangan sampai, memberi makan jiwa dengan cara memberi kepada orang lain, justru membebani ego. Memulai dengan mencintai keluarga sendiri dengan tulus, dapat membantu pertumbuhan jiwa. Orang tua misalnya dapat memberikan cinta yang tulus kepada anaknya. Lalu setelah semua anak-anaknya besar, dapat memberikan perhatiannya kepada masyarakat sekitar dan tentunya kepada dunia. Selain kasih yang tulus dalam memberi nutrisi jiwa, beberapa hal penting untuk kebutuhan jiwa adalah: • Sifat Pemaaf • Keberanian • Kesabaran • Iman • Empati • Murah Hati • Kebijaksanaan
5. teori wiliam james
Teori Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir “. Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan ” barangkali ” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma’rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dengan “Falsafatuna”-nya, Jawad Amuli dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya dan Ja’far Subhani dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Rousseau
.J. Rousseau, seorang filsuf Prancis, mengeluarkan statemen dalam bukunya Contract Social yang terkenal dengan ilmu kenegaraannya. “Manusia terlahir bebas, tetapi ada belenggu-belenggu yang mengikat manusia tersebut”. Hal ini dimaksudkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak pernah mutlak. Selalu akan terbentur dengan kebebasan individu lain. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kesepakatan agar tiap benturan kebebasan itu tidak menimbulkan konflik bahkan penghilangan kebebasan manusia lain. Kontrak itulah yang kemudian menjunjung tinggi adanya kedaulatan rakyat, pengutamaan suara mayoritas. Terkesan bahwa rakyat akan memiliki jaminan atas kebebasan mereka, tetapi kelemahan dari teori Rousseau ini adalah, yang ia tekankan adalah mayoritas, maka dimanakah suara bagi minoritas?
Kekejaman Rousseau sebagai pemikir kemudian menguat pada novelnya yakni Emile yang semakin memperkuat kata manusia hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tidak diakuinya sebagai manusia yang utuh. Perempuan adalah submanusia. Rousseau ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak mungkin berada dalam lingkup akademis yang logis dan kritis. Sebaliknya, untuk dapat mengikuti kehidupan laki-laki, perempuan haruslah mendapatkan pendidikan yang membekali mereka sebagai calon istri yang baik. Alasan di balik pembedaan pendidikan ini adalah, perempuan memiliki sifat emosional yang lebih kompleks dibandingkan laki-laki. Pendidikan tersebut misalnya mengenai musik, sastra, dan keterampilan rumah. Dengan belajar hal-hal yang semacam itu, perempuan diharapkan mampu mengimbangi pola hidup laki-laki yang penuh dengan pemikiran. Pendidikan untuk laki-laki sendiri mencakupi bidang politik, hukum, filsafat, ekonomi, dan pendidikan formal lainnya. Jelas novel ini sangat misoginis karena menunjukkan bahwa perempuan takkan mampu mengikuti pola pendidikan laki-laki. Perempuan tidak dianggap sebagai manusia, ia dianggap sebagai submanusia. Akibat dari novel ini adalah, dalam masyarakat, semakin diyakini bahwa memang pendidikan untuk perempuan harus dibedakan dari pendidikan laki-laki. Perempuan hanya pantas dididik sebagai calon ibu rumah tangga yang baik, untuk mengimbangi suaminya nanti.
Muncullah kritik dari seorang feminis bernama Mary Wollstonescraft dalam bukunya Vindication of The Rights of Women (1789). Jika dikatakan bahwa perempuan harus dapat mengimbangi laki-laki dalam kehidupan, perempuan pun haruslah mengerti bidang-bidang yang dipelajari juga oleh laki-laki. Bagaimana mungkin perempuan dikatakan mengimbangi kalau ia tidak mengerti sama sekali pembicaraan yang dilakukan oleh laki-laki. Justru perempuan akan semakin mengalami penekanan karena ketidakpahamannya itu. Kondisi yang akan terjadi adalah, ketika suami pulang dari bekerja, lalu ia mengeluh mengenai keadaan di tempatnya bekerja termasuk mengenai isu yang sedang terjadi di masyarakat, si istri hanya dapat menjadi pendengar. Istri tidak akan berani memberikan pendapatnya karena tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Walaupun ia berpendapat, suami tidak akan menanggapi karena menganggap bahwa istrinya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Istri pun mengalami subordinasi. Oleh karena itu, Wollstonescraft mengkritik pembedaan pendidikan oleh Rousseau dan mengatakan bahwa, sebagai manusia, perempuan pun berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki agar dapat berpartisipasi dalam ruang publik.
Lebih lanjut lagi, dalam bukunya ini, Wollstonecraft mengajak perempuan-perempuan yang telah terbiasa hidup dalam sangkar emas untuk keluar dan mulai berdaya. Sangkar emas ini merupakan simbol dari keterlenaan perempuan yang mau diberi segala kemudahan dalam kehidupan, tetapi implikasi dari kemudahan itu adalah pengambil-alihan statusnya sebagai manusia bebas. Perempuan tidak mendapatkan haknya sebagai manusia, antara lain hak milik, hak pilih bahkan terkesan, hak hidupnya pun sudah dibatasi. Perempuan menjadi tergantung pada laki-laki (pada ayah ataupun pada suami). Jangan-jangan untuk bernafas pun perempuan harus menunggu aba-aba dari laki-laki. Masalah semacam ini semakin mengakar kuat dan memperburuk keadaan perempuan, karena sangkar emas membuat perempuan tidak ingin keluar dari kesemuan itu. Pola ini kemudian akan diturunkan ke anak-anak perempuannya sehingga muncul impian ingin mencari sangkar emas-sangkar emas baru, karena hanya pola hidup semacam inilah yang dimengerti oleh perempuan.
Perempuan yang hidup terlena dalam sangkar emasnya tidak menyadari bahwa problem-problem kehidupannya justru semakin terkubur oleh problem keluarganya. Identitasnya terkubur oleh identitas yang lebih kuat, dalam hal ini adalah identitas laki-laki yang menguasai kehidupannya. Akhirnya masalah yang dialami perempuan menjadi lebih kompleks, karena permasalahan yang dialaminya tidak dikenali oleh lingkungan sekitarnya. Perempuan akan dianggap hanya mengalami depresi atau stres pada umumnya. Permasalahan ini oleh Betty Friedan disebut sebagai The problem that has no name. Dan masalah inilah yang dialami oleh kebanyakan perempuan terutama dalam rumah tangganya sebagai akibat dari hak mereka sebagai manusia dibatasi. Bahkan mengeluh pun mereka harus menyadari posisi mereka.
Jika perempuan dibiarkan diam terus-menerus, akan semakin memperkeruh air masalah yang dialaminya. Tetapi untuk bisa menjernihkan kehidupan perempuan, dibutuhkan pengakuan akan hak-hak hidup perempuan. Perjuangan para feminis liberal inilah yang ingin mengeluarkan perempuan dari sangkar emas yang mengukung mereka. Hasilnya adalah, pengakuan akan hak milik, hak pilih bagi perempuan. Ini bukan perjuangan yang mudah, mengingat keterlenaan perempuan telah mengakar sejak lama. Tetapi bukan berarti sebuah teori tidak memiliki kelemahan. Ketika kita hanya fokus pada hak individu, yang bersifat eksternal, maka kita akan terbutakan oleh hal-hal yang lebih inti dari penderitaan perempuan. Seperti kenapa perempuan tidak dapat mengikuti alur pemikiran laki-laki, karena ada perbedaan pengertian bahasa. Atau seperti tradisi yang tidak dapat dibongkar, padahal tradisi tersebut secara jelas telah membiarkan laki-laki tetap mengopresi perempuan. Lalu, apakah hanya sekedar hak pilih maupun kemandirian ekonomi yang harus dicapai perempuan? Bukankah sudah saatnya memutus rantai kekerasan tersebut dalam segala hal, termasuk dalam memutuskan tradisi kekerasan tersebut?